Thursday, December 9, 2010

Guru Kencing Berdiri Murid Kencing Berlari

Beberapa waktu lalu begitu marak kasus “permusuhan” antara guru dan murid. Terungkap ditelevisi, beberapa (atau mungkin banyak) siswa sekolah menulis status di facebook dengan kata – kata kasar yang ditujukan kepada salah seorang guru di sekolah mereka. Setelah membaca tulisan – tulisan tersebut guru tersebut menjadi trauma, paling tidak itu yang saya saksikan di acara berita televisi. Saya pernah mendapati situasi semacam ini, salah seorang murid saya menulis sesuatu di statusnya dengan bahasa yang sangat (tidak) sopan yang ditujukan untuk salah seorang gurunya (tentu saja bukan saya karena saya ini guru yang baik hati dan tidak sombong hehe). Saya langsung menanyakan hal tersebut padanya dengan menulis komentar di statusnya. Murid tersebut menjelaskan bahwa dia marah karena tindakan salah seorang guru padanya (dan teman – temannya). Guru tersebut memberi tugas kelompok, ketika hari pengumpulan tugas tiba, murid tersebut dan anggota kelompoknya mengumpulkan tugas kepada guru tersebut. Guru tersebut membaca tugas tersebut sejenak kemudian merobek kertas tugas, meremas dan membuangnya ke tempat sampah di hadapan para murid. Murid itu berang namun menahan emosinya, (merasa mungkin pekerjaannya tidak benar) namun akhirnya ia menuliskan ekspresi kekesalannya di dalam facebook. Mendengar ceritanya (membaca lebih tepatnya) saya terhenyak, dalam hati saya bertanya kenapa seorang guru bisa berbuat seperti itu. Saya juga bekerja sebagai guru namun tidak pernah (bahkan berniat pun tidak) untuk berbuat seperti itu (ini jujur lho ya) karena menurut saya hal tersebut terlalu kasar. 

Beberapa hari kemudian di sekolah semua murid dikumpulkan dan diceramahi (dengan nada tinggi) panjang lebar tentang menulis umpatan – umpatan di facebook. Ternyata yang menulis dengan kalimat dan bahasa senada dengan murid tersebut ada beberapa orang lagi, bahkan malah terhitung banyak. Saya bertemu murid tersebut dan menyarankannya untuk berkonsultasi kepada wali kelas atau guru konselingnya. Dia menjawab ingin melupakan hal tersebut agar tidak ada dendam lagi. Ini contoh kasus murid yang berang karena tindakan guru, ada juga guru yang berang karena tindakan murid. Saya juga pernah mengalami hal tersebut, contohnya salah seorang murid berisik di kelas dan terus mengganggu teman – temannya yang antusias mengikuti Yaah saya menganggap itu kenakalan anak sekolah jadi cukup saya beri hukuman yang menurut saya ringan seperti berdiri di depan kelas selama beberapa menit sambil saya tanya “How are you?” Dia menjawab “I’m fine,” sehingga dia terus berdiri, mungkin karena kasihan juga akhirnya saya ijinkan dia kembali duduk dan ternyata malah membuat seisi kelas ngakak, bahkan ada yang menulis di wall saya bahwa dia pengen ngakak kalo ingat adegan itu.

Fenomena semacam ini menimbulkan pertanyaan, kalau seperti ini siapa yang salah, sistemkah? Menurut saya kesalahan tidak terletak pada sistem tetapi pada oknum yang melaksanakan system tersebut. Dimana semua hal itu bersumber pada satu hal, kekuatan. Guru merasa memiliki kekuasaan, berusia lebih tua, lebih berilmu, sedangkan murid merasa di sekolah tersebut membayar, punya banyak teman sesama murid hingga secara tidak sadar membangkitkan ego masing – masing melebihi biasanya. Yaah kekuatan atau kekuasaan serring membuat orang terlena dan secara tidak sadar (terkadang secara sadar) menginjak orang lain. 

Nah jika masalahnya terletak pada oknum, pertanyaan yang muncul sekarang adalah, bagaimana mengatasinya? Agak sulit menjawab pertanyaan tersebut mengingat setiap orang memiliki karakter dan cara berpikir yang berbeda. Oke menurut saya saja, kalo ada yang berbeda pendapat atau mau menambahi malah lebih bagus. Akan sangat bermanfaat jika masing – masing orang mau menahan ego masing – masing dan bersikap lebih toleran kepada orang lain. Sebagai contoh, guru sebaiknya bersikap lebih pengertian kepada muridnya. Guru yang baik harus mengenal dan memahami karakter muridnya masing – masing. Apa jadinya kalo seorang guru tidak mengenal muridnya. Mau memberi nilai dari hasil ujian thok? Itu konyol namanya. Seorang guru tidak hanya mengajarkan ilmu akademik tapi juga mengajarkan pembentukan mentalitas. Murid yang berjumlah banyak memiliki bakat dan minat yang berbeda. Ada yang berbakat di English, matematika, IPA, musik dan lain – lain. Pernah saya bertemu guru yang sudah ‘berumur’ mengatainya muridnya “Bentukmu” dengan nada ketus dan wajah judesnya. Pikiran saya waktu itu, “Hih kuwi nik ditiru muride piye?” Ingat peribahasa guru kencing berdiri murid kencing berlari, apa yang dilakukan guru sedikit banyak akan ditiru oleh muridnya. 

Murid memiliki keinginan untuk didengar tapi tidak semua guru mau mendengarkan muridnya, beberapa yang pernah saya temukan adalah guru yang sudah berumur. Ini adalah guru yang berprinsip ‘guru bicara murid mendengarkan’. Nah ini dia yang harus diperbaiki,, murid juga harus didengarkan, jangan hanya terus dicekoki pikiran guru. Satu lagi, murid pun ingin dikenal oleh gurunya, dihapal namanya. Seorang murid akan senang jika dipanggil dengan nama, bukan dengan sebutan ‘kamu’ atau malah ‘kowe’.
Di sisi lain guru pun juga ingin dihormati. Pekerjaan guru itu tidak ringan, menghadapi begitu banyak murid dengan karakter yang berbeda – beda. Belum lagi menghadapi rekan sesama guru yang beda umur, beda pemikiran, beda idealisme dan berbagai perbedaan lain yang rawan menimbulkan konflik (hehe saya juga mengalami ini). Kita pakai logika saja, saat seseorang berbicara tentu dia ingin didengarkan. Nah salah satu masalah yang biasanya membuat guru naik darah adalah ketika dia mengajar muridnya rame sendiri. Kalo misalnya rame tapi bisa menjawab pertanyaan sih ga pa – pa, saya juga tidak keberatan dengan yang seperti itu. Belum lagi kalo si murid berteriak – teriak atau berbicara dengan bahasa yang tidak sopan, haaa itu bikin emosi deh.

Nah solusinya bagaimana? Menurut saya (iki akunku dadine aku meh nulis apa bebas donk hehehe) hal itu harus dimulai dari diri sendiri, guru mbok ya lebih mengerti muridnya dan murid juga memahami gurunya. Sikap saling memberi toleransi akan memberikan hasil yang lebih baik. Guru bisa memahami murid, tahu bakatnya, tahu kemampuannya dan juga tahu minatnya. Murid pun juga sama, bisa memahami guru dan tahu keinginan gurunya. Aah saya hampir lupa, pernah salah seorang murid saya yang beberapa waktu lalu menempuh UAN memberi saya masukan, “Pak,mbok ngajarnya ditambah begini begini lalu begitu begitu” katanya waktu itu. Yaaah tentu saja saya terapkan karena seorang guru harus mengutamakan muridnya.

Nah untuk para murid, para guru, orang yang tidak suka jadi guru atau siapapun yang membaca tulisan ini, tidak masalah apapun profesi kalian saya harap tulisan ini bisa memberi manfaat, paling tidak kalian bisa sedikit tahu sebagian kecil aktivitas dan permasalahan di dunia pendidikan. Ya hanya sebagian kecil karena ini hanya curhat saya dari hasil pengamatan dan kejadian yang saya alami, kita jumpa lagi di edisi
berikutnya. (Bersambung)

No comments:

Post a Comment