Tuesday, February 22, 2011

Contoh Pidato Pendek


Alhamdulillah, wa syukurilah, wa nikmatilah wa laa haula wala quwata illa billah. All praise for Allah SWT who bless us so that we can gather here today in this beautiful occasion. First of all I would like to say thank you to Headmaster, the teacher and everyone who has given me support so that I can stand here to deliver my speech entitled Natural Disaster in Indonesia.
Ladies and gentlemen there are so many disasters that cause so many sadness and sorrow for us. Hundreds of people died and other thousands lost their home. We have to help our brothers and sisters who need us, feel what they feel and try to help them throwing out their sadness. We can help them in many ways, giving them moral, financial and strength are some ways to help them, even pray is one those ways too.
Perhaps it’s a warning from Allah that we have to treat nature a lot better than before. Nature force is so strong that we cannot deal against it, but we can still prevent it to happen. Many mistakes we have made to the nature, however there is still a way to solve it. Don’t make damage to the nature and preserve what we have in front of us and use it safely, nature will run with us in harmony.
Ladies and gentlemen that’s all I can say for today. Hopefully this little speech can give us more knowledge and benefit is solving disaster problem around us. Thank you, see you again next time.

Wednesday, February 16, 2011

Cinta, Kasih Sayang dan Sebangsanya

Jarum jam di dinding menunjuk ke angka 5. Matahari baru saja memancarkan sinar pertama yang mengawali hari, kabut tipis menutup pandangan, daun – daun tanaman hijau terlihat basah oleh embun, pun dengan tanah – yang berwarna coklat gelap yang basah oleh air. Seorang bocah laki – laki menggosok – gosokkan tangan kanannya pada matanya, berusaha mengusir melemaskan matanya yang tertutup rapat, seperti direkatkan oleh lem. Ibunya memanggil dan pikiran bocah itu pun kembali teringat pada pembicaraannya dengan ibunya kemarin.  Sang ibu meminta bantuan bocah 8 tahun itu untuk menemaninya pergi ke pasar tradisional. Kepala keluarga rumah itu baru saja memanen 3 tundhun pisang, hari berikutnya adalah giliran istrinya untuk menjual panenan itu di pasar. Mengetahui kesulitan apa yang akan dihadapinya ketika harus menjual 3 buah barang yang sedemikian besar perempuan itu mengajak anak lelakinya yang masih kecil untuk membantunya.
Pagi – pagi buta dua orang itu pergi ke pasar tradisional, menumpang mobil pick up yang mereka sebut montor gundhul, mereka sebut gundul mungkin karena memiliki bak terbuka di bagian belakang. Kondektur kendaraan itu menaikkan barang – barang mereka ke bak mobil, sang ibu naik ke mobil dan anaknya sudah lebih dahulu sampai di atas mobil, mungkin karena demikian bersemangatnya karena dia akan menaiki kendaraan yang tidak dipunyainya di rumah. Kendaraan itu berangkat, sang bocah menyunggingkan senyumnya, dia tahu kalau dia akan mengawali hari itu dengan tiupan udara pagi yang segar dari atas sebuah montor gundul. Mobil itu berjubel, penuh sesak dengan perempuan – perempuan perkasa yang berjuang mengais rizki di pagi buta, bocah itu tak peduli, dia tersenyum, menikmati udara segar pagi itu, sesekali matanya melirik mencari ibunya, iwajah ibunya tanpa ekspresi namun tetap mampu membuat bocah itu tenang karena dia tahu kondektur kendaraan itu tidak memisahkan mereka. Akhirnya mereka samapi ke pasar, barang – barang jualan mereka telah diturunkan dari mobil, sang ibu membawa bocah dan barang – barangnya ke tempat terbuka. Tiga tundhun pisang, satu tenggok keluwih dan beberapa buah papaya dibawa sang ibu.
Sang ibu mengambil satu tundhun pisang, menaikkannya ke punggungnya lalu mengikatnya dengan sehelai kain yang disebut jarik. Dia berpesan kepada anaknya untuk duduk disana, menunggui barang – barang mereka sementara sang ibu berkeliling pasar mencari orang yang bersedia membeli pisang itu dengan harga yang sesuai. Bocah itu menuruti perkataan ibunya lalu duduk disana, menunggui barang – barang itu sambil matanya menatap orang – orang yang lalu lalang di sekitarnya. Beberapa waktu kemudian sang ibu kembali, pisang di punggungnya telah hilang, perempuan itu mengambil satu tundhun pisang lagi lau pergi. Bocah itu tidak menanyakan apapun, dia tahu apa yang harus dilakukannya. Sang ibu terus berkeliling dan sang anak menunggui barang yang ditinggalkan ibunya, begitu terus samapi akhirnya barang dia tunggui habis dan telah berganti wujud menjadi uang. Dia merasa bosan tapi sama sekali tidak mengelih, dia tahu itu kewajibannya untuk membantu ibunya, dan lagi dia tahu bahwa setelah semua barang – barang itu terjual ibunya kan mengajaknya ke warung makan dimana dia bias memesan soto ayam lengkap dengan lauk ampela dan hati ayam, makanan yang sangat jarang dijumpainya dirumahnya. Kemudian ketika dia haus ibunya akan membelikannya semangkuk es cendol, es cendol enak yang dia hafal betul karena penjualnya  seorang ibu muda yang memakai bedak putih dan lipstick merah menyala di wajahnya. Setiap kali dia menghabiskan 1 mangkuk ibunya dengan senyum ramah akan menawarinya apakah dia ingin nambah atau tidak. Hal yang membuat ibu penjual cendol tersenyum makin lebar karena dagangannya kembali laku satu mangkuk.  Dengan perut kenyang hasil sarapan dua orang itu kembali berkeliling pasar, kali ini untuk membelanjakan hasil jualan sang ibu untuk ditukar dengan kebutuhan mereka sehari – hari, beras, minyak, sayuran, lauk dan juag beberapa makanan ringan untuk dibawa ke rumah. 
Mereka berdua pulang dengan membawa berbagai macam barang bawaan, bocah itu menjinjing berberapa bungkusan makanan sedangkan sang ibu menaruh belanjaannya di tenggok yang dia ikat ke punggungnya. Mereka berjalan menuju jalan besar, mencari mobil angkutan yang akan mengantar mereka pulang. Bocah itu berjalan dengan riang, riang karena perutnya kenyang dan riang karena hari itu dia telah membantu ibunya, menyadari kalau dia berguna bagi ibunya dan dia akan pulang dengan membawa banyak makanan enak yang akan dia habiskan bersama teman – teman bermainnya, pun dia tidak perlu sekolah karena itu angka di kalender yang dipajang di rumahnya berwarna merah. Ibunya berjalan tanpa ekspresi, namun terlihat jelas perasaan nyaman di wajahnya, nyaman karena hasil ladangnya telah terjual semua dan bisa membeli  kebutuhan makanan mereka sekeluarga, ditambah lagi masih ada sisa uang yang akan dipakainya untuk uang saku sekolah kedua anak lelakinya. Dia pun telah membelikan berberapa barang yang akan dipakai suaminya di rumah nanti.
Keluarga yang sederhana, namun tidak mengurangi kehangatan mereka. Kerja keras, saling membantu, saling menyayangi, ikatan yang kuat, membuat mereka semakin kuat. Hidup dalam kesederhanaan tidak menghambat mereka namun malah membuat mereka semakin keras bekerja. Hari ini katanya adalah hari kasih sayang, ada yang merayakan, ada yang melarang, aku tak peduli semua itu, tidak ada yang salah dengan kasih sayang, pada siapapun itu. Dan tidak ada yang salah pula dengan mengekspresikan kasih sayang itu, tidak hanya di hari ini, tapi setiap hari. Mungkin ada yang melarang, bahkan sampai mengharamkannya, dan aku masih tetap tidak peduli, yang aku pedulikan adalah aku sayang keluargaku, aku sayang siswaku, teman – temanku dan semua orang yang peduli padaku, I love you.